Wae Rebo ialah sebuah desa terpencil dan bahkan bisa dikatakan sangat terpencil yang dikelilingi pegunungan dan hutan lebat di ketinggian -+ 1100 MDPL di Manggarai Barat, provinsi Nusa Tenggara Timur.
Labuan Bajo adalah persinggahan sementara bagi saya dan beberapa tim untuk meliput Wae Rebo. Dari kota yang terkenal dengan sunsetnya yang surealis ini, masih harus menempuh perjalanan 9 jam menggunakan mobil ke arah timur dengan jalanan yang didominasi kelok-kelok cantik yang pemandangan kanan-kirinya adalah pegunungan, hutan, sawah dan ladang. Kadang terlihat beberapa petani dengan capingnya sedang menjemur hasil panennya di sisi-sisi jalanan. Perjalanan ini lumayan membuat pantat seperti disumbat dan perut berasa seperti mesin giling semen; diaduk-aduk. Bukan
langsung sampai di Wae Rebo, tapi desa terakhir yang terdekat menuju Wae Rebo, yakni Denge. Di sana, ada dua pilihan homestay yang bisa kita gunakan, salah satunya homestay pak Blasius yang sering jadi andalan untuk melepas peluh sementara waktu dengan biaya sekitar Rp.200.000/malam (termasuk makan). Di situ pula kita bisa bercengkrama dengan para traveler dari dalam maupun luar negeri. Mengenal satu sama lain, berbagi cerita dan rasa.
Satu malam yang terasa pendek sekali untuk mengistirahatkan badan, karena pagi-pagi ketika burung-burung terdengar ramai sekali berkicau, kami sudah sibuk packing dan mengikat tali sepatu. Di belakang homestay pak Blasius adalah rute menuju Wae Rebo dengan cara trekking yang memakan waktu kurang lebih 3-4 jam dengan jarak 9 Km. Jalur trekking akan terus menanjak dan sesekali landai. Tapi tiap landai 3 meter, nanjaknya berkilo-kilometer! Ojek? Gak ada. Angkot?
Apalagi! Mulanya jalan yang ditempuh penuh dengan bongkahan bebatuan sebesar kepala manusia sepanjang kurang lebih 3 Km. Awalnya pasti terasa sekali keringat sebesar biji jagung bercucuran, lalu betis perlahan panas. Sepanjang itu, beberapa kali berpapasan para traveler dari luar dan dalam negeri, kadang dengan para penduduk asli Wae Rebo yang juga trekking membawa kebutuhan pokok.
Saya bertemu dua ibu penduduk asli Wae Rebo, tampak ramah sekali hingga kami putuskan untuk jalan bersama. Mereka berdua membawa gendongan dari kain jarik yang isinya beras, jagung dan sebagainya. Mereka juga menenteng ayam hidup. Katanya, setiap mereka butuh sesuatu harus jalan juga sepanjang 9 Km sama seperti kita tapi dengan intensitas cukup tinggi. Wow, mungkin betisnya
terbuat dari stainless steel. Para ibu itu sesekali saya ajak bercanda, niatnya supaya menghibur supaya mereka ga terasa lelahnya, tapi malah saya yang kelihatan kepayahan. Baru 3 Km, muka saya sudah dilipat seperti amplop kondangan.

Sering kali saya berhenti untuk minum dan ibu-ibu itu menertawakan dengan sumringah. Di tengah perjalanan, bertemu sungai dengan air jernihnya yang seperti kristal mengalir lamban. Kalau bertemu sungai ini, berarti sudah mencapai setengah perjalanan dan tanda jalur berbatu selesai. Di sungai ini pula kami mengisi botol minum yang telah kosong dan mencuci muka.

Setelah itu, trek berganti menjadi tanah dan menyempit dan masih tetap menanjak. Kanan-kiri mulai rapat pepohonan nan besar dengan bebauan daun basah dan lumut. Sesekali saya menyahuti suara burung hantu yang sedang begadang mungkin. Nah, tak lama sampai di atas bukit Pocoroko yang ditandai dengan pagar besi dan tembok yang menghadap jurang dalam.
Dari sinilah bisa melihat seperti apa desa Denge dan sekitarnya, serta laut. Kata orang, di Pocoroko inilah titik di mana kita bisa bersentuhan dengan sinyal dan ternyata betul.

Berkali-kali gerimis nampak turun disertai kabut tebal yang membuat jarak pandang jadi pendek. Beberapa kali juga akan terlihat sebuah tanda dengan tinggi setengah meter tertancap di tanah dengan tulisan angka-angka. Angka ini menunjukan berapa meter lagi yang harus dilalui untuk sampai tujuan. Mana lagi kalau bukan Wae Rebo.
Sekitar 500 meter sebelum masuk ke kampung yang khas dengan rumah kerucut alias Mbaru Niang itu, kita akan berpapasan dengan bangunan seperti gubuk. Di sana salah satu porter akan membuat bunyi-bunyian dari sebilah bambu yang dibelah dan digantung untuk menghasilkan suara nyaring yang bertujuan untuk memberitahu warga bahwa ada pendatang. Baju yang menempel di badan sudah dua kali basah terkena keringat dan dua kali kering karena sinar matahari tak kami hiraukan karena melihat desa Wae Rebo dari kejauhan telah memberi kembali tenaga di kaki kami yang sudah loyo seperti sendok ager.
Mbaru Niang dan Penghuninya
Dari gerbang Wae Rebo, terlihat 7 rumah kerucut yang besar sekali berjajar dan membentuk setengah lingkaran dengan atap rumbia hampir menyentuh tanah. Rumah kerucut atau Mbaru Niang nan unik ini terbuat dari kayu, bambu dan rumbia, serta hanya ada di sini, ini adalah peninggalan rumah tradisional ala Manggarai Barat yang masih tersisa dan telah mendapat penghargaan UNESCO tahun 2012 lalu. Semua rumah didalamnya memiliki 5 tingkat. Tingkat pertama untuk dihuni, yang kedua dan seterusnya untuk menyimpan barang, hasil panen dan peninggalan leluhur. Kata mereka, rumah ini sudah ada dari ratusan tahun lalu dan dihuni turun temurun. Dari info yang saya baca, masyarakat Wee Rebo adalah keturunan orang Minang dan ternyata beberapa dari mereka mengkonfirmasi bahwa itu benar adanya. Karena di sini tak ada sekolah, maka anak-anak mereka disekolahkan di desa Kombo dan pulang ke sini seminggu atau dua minggu sekali.


Ok, lanjut lagi ke urutan cerita. Kami langsung diantar ke rumah Gendang, rumah yang digunakan untuk ritual adat ini ukurannya sama dengan yang lainnya tapi perbedaannya terletak pada bebatuan di halamannya dan tanduk kerbau di ujung atap. Suatu keharusan jika ada pendatang untuk ikut ritual penyambutan tamu yang bertujuan meminta ijin sang khalik dan leluhur supaya kegiatan di sana lancar. Ritual tentu dipimpin ketua adat, pak Rafael namanya.
Penginapan di sini adalah salah satu Mbaru Niang. Di pinggir dalam rumah, berjajar tikar terbuat dari rumbia, lengkap dengan selimut dan bantal. Nah, di sisi tengah digunakan para tamu untuk duduk santai serta makan. Untuk bermalam di sini, dikenakan biaya Rp.315.000,-/malam sudah termasuk makan 3 kali. Di penginapan ini kita bisa berkenalan dengan para pendatang lainnya sebagai penghangat di cuaca yang begitu dingin sekitar 14°C. Wae Rebo ini lebih dikenal bagi wisatawan luar, dibanding wisatawan domestik. Tak heran banyak sekali bule.
Di Wae Rebo, semua begitu ramah. Ketika pagi tiba, kita bisa melihat bagaimana matahari mencuat di sela-sela pegunungan di antara kabut. Beberapa warga terlihat sibuk dengan hasil panen utamanya, yaitu kopi. Kopi adalah urat nadi perekonomian di sini selain penginapan dan kain tenun sudah dari jaman dulu. Ada 3 jenis kopi yang ada di Wae Rebo : Robusta, Arabika dan Columbia. Tentu saja pengolahan biji kopi di sana dengan cara tradisional, pagi adalah waktu yang tepat untuk melihat
mereka beraktivitas seperti menjemur kopi atau menumbuk. Tak heran, aroma kopi saat pagi-pagi harumnya begitu semerbak segar. Tak banyak makanan yang bisa diliput karena mereka betul-betul mengandalkan hasil ladang sayuran yang minim dan sedikit ternak. Kadang pula mereka berburu hewan di hutan, tapi tak banyak bisa diburu. Siang di sana bisa dihabiskan dengan berinteraksi dengan masyarakat yang sedang beraktivitas. Ada yang sedang menenun di kolong Mbaru Niang, memasak, menyangrai biji kopi, bermain bola bersama anak-anak, dll.


Jika malam tiba, listrik dari genset akan menyala dan semua orang biasanya ada di dalam bangunan. Genset? Solarnya dari mana? Iya, mereka membawanya dari 9 Km lebih dari sana dengan cara berjalan kaki. Menikmati kehangatan kopi sekaligus makan malam bersama sambil bercengkrama dengan teman seperjalanan ataupun juga orang yang baru tiba untuk berkenalan dan bertukar cerita.
Banyak hal lagi bisa dilakukan ditempat eco-tourism ini. Tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa banyak fasilitas hiburan dan teknologi modern membuat pengalaman di sini begitu membaur sekali dengan sesama manusia, melebur dan menjaga alam, sesuai hakikatnya manusia. Bukan sebagai antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta, sementara alam sebagai objek eksploitasi belaka.
0 komentar:
Posting Komentar